Andai rezim Orde Baru masih berkuasa, tidak akan ada pemblokiran atau ancaman dari warga untuk menembok Jalan Tol Serpong-Ulujami, Jakarta. Tentu saja opini itu tidak harus dibaca sebagai dukungan terhadap kembalinya rezim Orde Baru, tetapi sebagai akumulasi kekecewaan terhadap berlarutnya sengketa lahan tol di masa kini.
Pemerintah boleh punya desain jaringan tol, operator tol boleh punya kemampuan teknis, serta perbankan boleh punya dana segar. Tetapi, realitasnya, sengketa atas satu-dua bidang lahan di Republik ini cukup membuat pembangunan jalan tol mandek bertahun-tahun.
Terlebih, sebagian warga masih memandang jalan tol sebagai properti komersial sehingga merasa berhak untuk memblokirnya. Padahal, kini jalan tol telah bergeser dari sekadar jalan alternatif menjadi jalan utama lantaran pemerintah kekurangan dana sehingga ketersediaan infrastruktur jalan sangat minim.
Sengketa lahan paling gres adalah klaim Isa bin Baman atas lahan Tol Ulujami. Isa bersikukuh lahan itu hak miliknya sehingga operator tol harus membayar ganti rugi. Sebaliknya, PT Jasa Marga Tbk menyatakan dana pembebasan lahan telah dikonsinyasikan di pengadilan sehingga jangan dianggap Jasa Marga tidak mau membayar.
Pada September 2007, akhirnya diresmikan Tol Cikunir sebagai bagian dari Jakarta Outer Ring Road (Jakarta Lingkar Luar/JORR). Pengoperasian tol itu tertunda dua tahun, juga akibat sengketa lahan. Belum lagi mundurnya pengoperasian Tol Waru-Bandara Juanda di Jawa Timur, lagi-lagi-akibat belum tuntasnya pembebasan lahan seluas 3.000 meter persegi yang seharusnya sudah beroperasi Juni 2007.
Sengketa lahan dengan segala varian permasalahan membuat pembangunan tol tersendat-sendat, diwarnai ketidakpastian harga tanah dan jangka waktu pembebasan lahan. Di mata investor, ketidakpastian yang mempersulit pengembalian modal adalah kartu mati.
"Kami telah membangun jalan tol di Malaysia, India, Filipina, dan Indonesia. Dan, hanya di Indonesia pembebasan lahan penuh ketidakpastian," kata Jusuf Merican, investor Malaysia, yang membangun Tol Cibitung-Tanjung Priok sepanjang 33,92 kilometer.
Progres pembebasan
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Bina Marga Departemen Pekerjaan Umum, hingga 15 November 2007, untuk pembangunan 40 ruas tol (trans-Jawa maupun nontrans-Jawa) dari kebutuhan lahan 12.209 hektar, baru 248 hektar yang sudah dibebaskan atau hanya 2,04 persen.
Mimpi pemerintah untuk menghubungkan Jakarta-Surabaya dengan jalan tol pada tahun 2010 kiranya juga masih sekadar mimpi.
Pasalnya, dengan kebutuhan lahan sebesar 4.734,48 hektar untuk 10 ruas tol (dengan panjang 644,20 km), yang baru dibebaskan 111,96 hektar.
Beberapa proyek pun tertunda karena sejumlah investor merasa kewalahan dengan kondisi keuangannya. Direktur Utama PT Citra Marga Nusaphala Persada Tbk (CMNP) Daddy Hariadi, misalnya, telah menyatakan akan mempertimbangkan pembangunan ruas Tol Depok-Antasari (21,70 km) lantaran lonjakan harga tanah.
Ketika PT CMNP menandatangani Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol (PPJT) dengan Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) tahun 2006, ongkos pembebasan lahan diperhitungkan Rp 700 miliar, tetapi Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) 2007 melonjak hingga Rp 1,2 triliun.
Sementara, harga pasar diperhitungkan Rp 1,7 triliun-Rp 2,3 triliun. Lonjakan biaya pembebasan lahan Rp 1 triliun-Rp 1,6 triliun tentu di luar perhitungan bisnis investor mana pun.
Pasang badan
Dukungan pemerintah dengan adanya Badan Layanan Umum (BLU), sebagai dana talangan pembebasan lahan pun, telah digelontorkan pemerintah. Lalu, ramai-ramailah investor mengajukan permohonan dana BLU yang tahun 2007 ini dianggarkan Rp 590 miliar.
Bila investor Malaysia selalu memuji keterlibatan lembaga peradilan dalam sengketa harga lahan di negeri itu, di Indonesia sejak tahun 2003, Jasa Marga telah mengonsinyasikan dana pembebasan lahan Ulujami di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Indonesia sebenarnya memiliki regulasi yang jelas soal pembebasan lahan untuk kepentingan umum (jalan tol), namun implementasinya lemah.
Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto pernah mengeluarkan pernyataan secara tersirat bahwa kalau Presiden berkenan melimpahkan wewenang mencabut hak-hak atas tanah kepada pejabat setingkat menteri, maka Menteri PU akan segera bertindak.
Untuk mempercepat pembangunan jalan tol di Indonesia, bukan cuma sekali Menteri PU berniat "pasang badan". Ketika Badan Pertanahan Nasional (BPN) tidak kunjung memberi lisensi Lembaga Penilai Harga Tanah, Menteri PU langsung menyatakan akan menender lembaga penilai itu lantaran ada laporan terhambatnya pembebasan lahan Tol Semarang-Solo sepanjang 75 km.
Berbicara mengenai percepatan pembebasan lahan tol, BPJT meminta pengaturan tentang land capping yang merupakan batas nilai yang harus ditanggung pemerintah karena perubahan harga tanah, dimuat dalam peraturan presiden agar kepastian hukumnya lebih kuat.
"Bila aturan land capping dimuat dalam perpres, investor tol lebih yakin. Indonesia diuntungkan dengan lebih banyaknya investasi di jalan tol," kata Kepala BPJT Hisnu Pawenang.
Tetapi, konsep land capping kini baru mengatur pemerintah untuk menanggung beban pembiayaan lahan jika harga tanah meningkat lebih dari 110 persen dari harga awal.
Sementara "pekerjaan rumah" yang secepatnya harus dituntaskan pemerintah adalah nilai pertanggungan batas atas terhadap biaya land capping.
"Harus ada hitungan berapa batas atas dari harga tanah yang harus ditanggung pemerintah sehingga dapat dihitung kebutuhan dana dari APBN," kata Anggito Abimanyu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Departemen Keuangan. Dia meminta PU menghitung perkiraan dananya.
Sementara Staf Ahli Menko Perekonomian M Ikhsan memprediksi, kebutuhan dana untuk land capping tidak begitu besar karena perjanjian pembangunan jalan tol yang lama tidak terlalu banyak.
Adapun perjanjian pembangunan yang baru sudah mempertimbangkan biaya pembebasan lahan dengan harga yang berlaku saat ini.
Ketika konsep land capping disempurnakan di pengujung tahun 2007, maka tahun depan sepatutnya pembangunan tol melesat di "jalur bebas hambatan" dengan menyinergikan segenap instansi yang "keroyokan" membangun jalan tol. Semoga.
URL Source: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0712/15/ekonomi/4053201.htm
Haryo Damardono
Kompas |
|
No comments:
Post a Comment