Social Icons

Friday, January 2, 2015

Kegagalan Pemerintah Dalam Proyek Pembangunan


Pemerintah melalui kekuatan yang dimiliki baik secara politik mamupun ekonomi diharapkan mempu untuk menyediakan sarana publik yang bertujuan untuk menyejahterakan masyarakat. Sarana publik tersebut diharapkan dapat melibatkan berbagai pihak guna memperkecil beban kerja pemerintah yaitu dengan melibatkan peran swasta, perbankan, pemerintah daerah, dan masyarakat. Peran yang dari berbagai komponen tersebut diharapkan menciptakan integrasi yang kuat sehingga proyek publik tersebut dapat segara dinikmati manfaatnya oleh masyarakat. Namun apa yang telah terjadi pada proyek Jalan Tol Solo – Semarang? Mengapa proyek tersebut terkesan lamban dalam pengerjaanya?
Jalan Tol Semarang-Solo adalah jalan tol di provinsi Jawa TengahIndonesia. Jalan Tol Semarang-Solo menghubungkan kota Semarang dengan Surakarta. Tol ini mulai dibangun tahun 2009 oleh Jasa Marga dan diperkirakan akan selesai tahun 2012. Panjang jalan tol ini adalah 75,7 km. Adapun jalan tol ini terbagi menjadi lima seksi:
No
Seksi
Panjang
1
Seksi 1 (Tembalang – Ungaran)16.3 km
2
Seksi 2 (Ungaran – Bawen)13.33 km
3
Seksi 3 (Bawen – Salatiga)18.2 km
4
Seksi 4 (Salatiga – Boyolali)22.4 km
5
Seksi 5 (Boyolali – Karanganyar)11.1 km
Tol Semarang-Solo“, Departemen Pekerjaan Umum.
Pembangunan Tol Semarang-Solo membutuhkan biaya investasi sebesar 6,1 triliun rupiah, biaya konstruksi 2,4 triliun rupiah, dan biaya pengadaan tanah 800 miliar rupiah (inilah.com, 2009). Konstruksi tol seksi I Semarang (Tembalang)-Ungaran dimulai pada awal tahun 2009. Ditargetkan tol Semarang-Ungaran dapat diselesaikan dalam 13 bulan konstruksi. Tol seksi II Ungaran-Bawen akan mulai dibangun pada November 2009 (ANTARA, 2009).
Bibit Waluyo, selaku gubernur Jawa Tengah, menyatakan tol ini akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah. Tol ini juga memiliki fungsi strategis, salah satunya karena menjadi penghubung Ungaran sebagai kawasan industri dengan Semarang (Warta Ekonomi, 2009). Pemerintah Kota Salatiga memintasimpang susun (interchange) tol Semarang-Solo di sekitar pusat kota untuk mengantisipasi kemungkinan Salatiga menjadi kota mati akibat realisasi tol ini.(Solopos, 2009).
Walaupun telah didukung penuh oleh pemerintah daerah maupun pemerintah pusat, namun pengerjaan jalan tol tersebut tidak menjamin menemui kendala, bahkan terkesan proyek jalan tol tersebut terindikasi korupsi serta perbedaan rencana antar berbagai pihak mengenai proyek tersebut. Menurut berita ANTARA 14 Juni 2010, pembangunan Jalan Tol Semarang-Solo rute Kota Semarang hingga Ungaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, terancam tidak selesai sesuai target waktu yang ditentukan. Indikasi itu terlihat dari permohonan kontraktor yang meminta perpanjangan waktu pengerjaan lima bulan lagi terhitung sejak Juni 2010. Banyak berbagai faktor penghambat proyek tersebut selesai tepat waktu, adapun faktor-faktor tersebut adalah pembebasan dan pembayaran ganti rugi lahan, masih ada bangunan milik penduduk yang belum dibongkar, musim hujan yang masih terjadi.
Permasalahan yang lebih besar dihadapi adalah adanya kasus di Desa Jatirunggo, Kabupaten Semarang yang terindikasi adanya korupsi serta negosiasi fiktif harga tanah antara warga desa dengan Tim Pengadaan Tanah. Kasus yang memprihatinkan di Desa Jatirunggo adalah pada tanggal 30 April 2010 tabungan senilai Rp 13,2 miliar yang disimpan di Bank Mandiri milik warga Desa Jatirunggo hilang. Uang tersebut merupakan pembayaran atas tanah warga yang dibeli untuk mengganti lahan PT. Perhutani yang terkena proyek Jalan tol Semarang-Solo.
Pengadaan tanah di Desa Jatirunggo dinailai merugukan keuangan negara sekitar Rp 8,1 miliar karena pemerintah membayar penggantian lahan Rp 50.000 per meter persegi namun warga hanya menerima Rp 20.000 per meter persegi. Kasus transaksi pemindahbukuan rekening tersebut dinilai Komisi D DPRD Jateng berpindah ke rekening diduga milik broker. Kejadian tersebut semakin tidak wajar karena pihak bank tidak mengklarifikasi pemindahbukuan itu ke warga. Kejati Jateng juga menemukan bukti awal adanya rekayasa musyawarah penentuan harga tanah serta menemukan bukti keterlibatan Agus Sekmaniharto sebagai broker.
Jika dilihat dari permasalahan pembangunan proyek Jalan Tol Solo-Semarang tersebut menunjukkan bahwa lemahnya birokrasi serta semakin besarnya peluang melakukan korupsi di daerah. Rencana pembanguangan yang simpang siur arahnya tersebut menunjukkan bahwa koordianasi antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota lemah. Lemahnya koordinasi ini terlihat dari keinginan dari Kota Salatiga untuk meminta interchange berada di pusat Salatiga, padahal interchange di pusat Kota Salatiga tidak ada dalam rencana awal. Hal ini menunjukkan bahwa konsistensi pemerintah dalam menjalankan proyek sangat rendah.
Kasus inidikasi korupsi yang berupa perbedaan antara harga tanah yang disepakati negara serta jumlah yang diterima warga menunjukkan bahwa Tim Pengadaan Tanah yang dibentuk pemerintah tidak memiliki intergritas yang baik. Tim tersebut juga diniliai tidak bekerja secara profesional karena ditemukannya kasus negosiasi harga fiktif. Belum lagi adanya peran dari bank yang memindahbukukan renening warga kepada salah satu rekening yang diduga broker semakin menunjukkan bahwa kinerja Tim rendah.
Kasus yang melibatkan perbankan juga memberi sinyal negatif bagi pemberantasan korupsi, padahal perbankan dituntut untuk hati-hati serta profesional dalam menjalankan bisnisnya. Peranperbankan dalam dugaan korupsi semakin meyakinkan bahwa korupsi yang terjadi di Indonesia telah berjalan sistematis. Kejadian ini semakin menguatkan kegagalan pemerintah dalam membagun fasilitas publik yang bersih dari korupsi dan profesional dalam menjalankan proyek publik.
Referensi

  1. Maulidin, Ade, “Proyek Jalan Tol Semarang-Solo Diklaim Lancar“, Warta Ekonomi, 14 Juli 2009.
  2. Tol Semarang-Solo“, Departemen Pekerjaan Umum.
  3. Konstruksi Tol Semarang-Solo Dimulai“, INILAH.COM, 31 Januari 2009.
  4. Tol Semarang-Solo Seksi II Dibangun November“, Antara, 1 November 2009.
  5. Jalan tol Solo-Semarang, Salatiga ngotot meminta interchange di pusat kota.“, Solopos, 23 Juli 2009.
  6. “Negosiasi Harga Tanah Fiktif”, Kompas, 28 September 2010

No comments:

Post a Comment

 
 
Blogger Templates